Oleh: Anton Kuswoyo,
Mahasiswa Doktoral Ilmu Nutrisi dan Pakan – IPB
Ketua DPD LDII Tanah Laut – Kalimantan Selatan
Saya masih ingat ketika kecil hidup di daerah transmigrasi pedalaman Kalimantan Tengah. Saat itu terjadi paceklik di desa kami. Hampir semua petani gagal panen padi sehingga menyebabkan terjadinya larang pangan. Warga desa yang biasanya makan nasi dari hasil panen sendiri, terpaksa harus beli beras dengan harga yang sangat mahal.
Tidak sedikit warga yang akhirnya berinisiatif mengolah singkong menjadi makanan pengganti beras. Pangan olahan dari singkong ini disebut oyek. Pengolahannya dilakukan dengan cara merendam singkong yang sudah dikupas dan dipotong-potong selama 3-4 hari, kemudian menumbuknya dengan menggunakan lumpang dan alu.
Singkong yang sudah ditumbuk kemudian diayak menggunakan tampah hingga membentuk butiran-butiran kecil sebelum kemudian dijemur beberapa jam. Butiran singkong ini lalu dikukus selama 30 menit dan dijemur kembali hingga kering. Maka jadilah oyek yang tahan disimpan hingga berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun. Mengkonsumsinya dengan cara dikukus seperti menanak nasi. Bisa ditambahkan lauk dan sayur atau hanya sekedar ditaburi parutan kelapa yang diberi sedikit garam.
Kini saya pun membayangkan jika sewaktu-waktu terjadi paceklik dan larang pangan, maka kita harus sudah siap dengan sumber pangan alternatif yang mudah didapat dan harganya terjangkau. Agar kita terbiasa makan makanan pokok tidak hanya dari nasi saja. Bergantung pada satu jenis makanan pokok tentu bukan ide yang baik. Karena hal ini akan menyebabkan rawan terjadi krisis pangan di kemudian hari.
Hingga saat ini, mayoritas penduduk Indonesia masih mengkonsumsi makanan pokok dari padi (nasi). Bahkan persentasenya mencapai 97 persen dari seluruh penduduk Indonesia (Louhenapessy, dkk 2010). Kabar buruknya ialah jumlah sawah yang menghasilkan padi tiap tahun justru mengalami pengurangan drastis. Kementerian Pertanian menyebutkan luas lahan baku sawah, baik yang beririgasi teknis maupun non irigasi mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu hektar per tahun, (republika.co.id, 18/01/2020). Maka bukan tidak mungkin suatu saat akan terjadi paceklik alias larang pangan khususnya pangan yang bersumber dari nasi.
Oleh sebab itu perlu adanya diversifikasi pangan berbasis lokal. Diversifikasi atau penganekaragaman adalah suatu cara untuk mengadakan lebih dari satu jenis barang/komoditi yang dikonsumsi. Hal ini sebagai upaya agar masyarakat tidak tergantung pada satu jenis makanan pokok saja yakni hanya dari padi.
Selain singkong, ada beberapa sumber pangan lain yang potensial untuk dijadikan bahan makanan pokok, diantaranya ialah sorgum (Sorghum bicolor (L.)Moench). Meskipun sebenarnya sorgum berasal dari Afrika, namun cocok ditanam di Indonesia. Dibandingkan singkong, budidaya sorgum jauh lebih mudah dan tentu saja biaya lebih terjangkau. Hal ini karena sorgum bisa hidup di lahan kering, marginal, bahkan di lahan yang tanaman pangan lain tidak bisa tumbuh dengan baik.
Sebagai bahan pangan, sorgum berada pada urutan kelima setelah padi, gandum, jagung, dan jelai. Bahkan sorgum mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh padi, jagung, dan gandum. Sorgum memiliki kandungan gluten dan angka indeks glikemik yang lebih rendah daripada padi. Sehingga sorgum sangat baik dikonsumsi bagi orang yang menderita diabetes. Bagi yang tidak terkena diabetes pun sangat baik untuk menjaga kadar gula dalam tubuh agar tetap stabil.
Keunggulan lainnya ialah sorgum memiliki kandungan karbohidrat mencapai 74.63 gr/100 gr bahan, lebih tinggi daripada gandum (71.97 gr/100 gr bahan) dan peringkat ketiga setelah padi (79.15 gr/100 gr bahan), dan jagung (76.85 gr/100 gr bahan), (tempo.co, 11/04/2022).
Satu-satunya kekurangan sorgum ialah karena memiliki gluten yang rendah mengakibatkan ketika sorgum dijadikan tepung, teksturnya tidak sekenyal (elastis) seperti tepung gandum. Padahal selama puluhan tahun lidah orang Indonesia sudah terbiasa dengan makanan berbahan tepung gandum (mie instan, roti, dll).
Perlu Dukungan Pemerintah
Melihat keunggulan dan potensi sorgum yang sangat luar biasa, maka upaya mengkampanyekannya sebagai bahan pangan pokok adalah sebuah keharusan. Tanpa adanya kampanye yang masif, mustahil masyarakat akan mau berpindah mengkonsumsi sorgum. Cara paling mudah mengkampanyekan sorgum tentu saja melalui tayangan iklan di berbagai media. Apalagi di zaman media sosial saat ini, tentu bukan hal yang sulit untuk mengenalkan sorgum kepada masyarakat luas.
Namun sebelum mengkampanyekan sorgum, pemerintah juga perlu mendahuluinya dengan melakukan budidaya percontohan sekaligus pengolahan sorgum menjadi berbagai produk pangan. Teknisnya bisa dengan cara memerintahkan pemerintah daerah untuk membuat kebun sorgum percontohan yang dikelola secara profesional.
Dengan cara demikian maka ketika masyarakat mulai tertarik untuk mengkonsumsi sorgum, mereka dengan mudah dapat memperolehnya. Bagi yang berminat melakukan budidaya, dapat belajar secara langsung di kebun percontohan. Produk olahan berbahan sorgum juga perlu diperkenalkan. Bukan tidak mungkin tepung sorgum dapat digunakan untuk bahan baku mie instan pengganti gandum. Jika hal ini terjadi, dampak positifnya ialah dapat menekan impor gandum dari luar negeri.
Pemerintah sudah saatnya melakukan hal ini guna mengantisipasi krisis pangan. Diversifikasi pangan adalah sebuah keniscayaan untuk memperkaya sumber pangan pokok di Indonesia. Masyarakat hanya perlu pembiasaan saja dalam mengkonsumsi sorgum. Jika sudah merasakan khasiatnya bagi kesehatan, akan dengan sendirinya sebagian masyarakat beralih mengkonsumsi sorgum sebagai makanan pokok.
Riset Unggulan Nasional
Upaya diversifikasi pangan berbasis sorgum tentu perlu didukung dengan riset. Baik itu riset tentang budidaya maupun pengolahan produk turunannya. Pemerintah melalui kementerian maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait dapat memprogramkan sorgum sebagai salah satu riset unggulan nasional. Dengan demikian diharapkan riset-riset tentang sorgum juga makin banyak lagi dilakukan.
Memasukkan sorgum dalam program riset unggulan nasional dapat meningkatkan minat riset di bidang sorgum. Tentu saja, kegiatan riset juga perlu dibarengi kerjasama dengan pihak industri agar hasil riset dapat diwujudkan menjadi produk yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung.
Tidak hanya dalam bidang pakan, sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak, khususnya ternak ruminansia (kambing dan sapi). Beberapa hasil penelitian telah menunjukan bahwa kandungan nutrisi pakan ternak berbasis sorgum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan ternak lainnya. Dampak akhirnya juga akan turut mendukung ketahanan pangan, karena pakan ternak yang baik akan menghasilkan ternak berkualitas. Ternak berkualitas merupakan sumber pangan hewani yang juga sangat diperlukan masyarakat.
Semoga dengan adanya diversifikasi pangan berbasis sorgum, peran pemerintah, dan hasil riset dari para akademisi maupun peneliti akan mampu menjaga ketahanan pangan nasional saat ini dan nanti. Aamiin. (*)