Terinspirasi dari ayat di bawah ini, lahirlah tulisan dengan judul di atas. Ada rasa haru, ketika menghayati dan tersadar bahwa apa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut dan ayat-ayat semisal menuntun pada kehidupan yang indah (hayatan thayyibah). Dan hidup yang indah, tentu merupakan rangkaian dari langkah-langkah kecil yang indah juga. Yang menerus, dari waktu ke waktu. Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh —baik laki-laki maupun perempuan— dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik: dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl: 97)
Meretas dari ayat yang lain, dari rangkaian surat sebelah, dengan elegan Allah memperkuat dan mempertegas situasi hayatan thayyibah dengan menafikan harta dan anak. Fokusnya ternyata hanya iman dan amal shalih. Yaitu amal yang penuh dengan kebaikan dan kebaikan saja. Allah menegaskan:
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” [QS Saba’:37]
Dengan begini, jelas sudah bahwa tuntutan agar bisa memperoleh sesuatu yang baik dan indah, selagi di dunia maupun nanti di akhirat adalah terus menabur bibit kebaikan. Kapan pun dan dimana pun. Tentu dengan kualitas yang prima; dengan niat yang benar dan dasar yang benar. Tanpa pamrih imbalan maupun balasan. Yang semua itu terjadi, meminjam kata-kata Sang Guru Bijak adalah karena iman, mengikuti hukum-hukum kebaikan sebagaimana hadits berikut.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إن اللَّهَ لَا يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا [وَيُثَابُ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُعْطِيهِ حَسَنَاتِهِ فِي الدُّنْيَا] حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ، لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا خَيْرًا
Dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya orang mukmin dalam suatu kebaikan pun yang Dia berikan kepadanya di dunia dan Dia berikan pahalanya di akhirat. Adapun orang kafir, maka ia diberi balasan di dunia karena kebaikan-kebaikannya, hingga manakala ia sampai di akhirat, tiada suatu kebaikan pun yang tersisa baginya yang dapat diberikan kepadanya sebagai balasan kebaikan.” (HR Ahmad)
Maka, jiwa-jiwa tercerahkan dan pikiran-pikiran yang bercahaya memandang dengan jelas arti kebaikan. Bahkan sebagian sampai pada suatu kesimpulan bahwa orang iman adalah orang yang selalu berbahagia, sebab bisa berbuat kebajikan kapan saja, dimana saja dan bagaimana saja keadaanya. Tanpa syarat. Berbeda dengan kebanyakan orang mengira kebahagiaan dan kedamaian baru diperoleh setelah keinginan terpenuhi. Dan ternyata, sedikit yang menemukan kedamaian dengan cara ini. Terutama karena keinginan bergerak naik sejalan dengan tercapainya sejumlah keinginan dan tuntutan. Tatkala keinginan memiliki motor tercapai, muncul keinginan membeli mobil. Setelah menjadi manajer, muncul keinginan menjadi direktur. Begitu seterusnya, sehingga lelahlah kehidupan karena terus berkejaran. Orang-orang yang tercerahkan sudah meyakini dalil ini.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمرو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ ورُزق كَفَافًا، وقَنَّعه اللَّهُ بِمَا آتَاهُ”.
Dari Abdullah Ibnu Umar sesunggguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam dan diberi rezeki secukupnya serta Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR At-Tirmidzi)
Terinsipirasi dari sini, sebagian orang-orang tercerahkan kemudian menggunakan cara lain yakni belajar menemukan kedamaian dengan cara “berhenti”. Tak lain adalah mencoba menerjemahkan pengertian qanaah dengan apa yang diberikan Yang Maha Kuasa. Pengertian berhenti di sini adalah menemukan wajah kedamaian dari setiap pengalaman kekinian, saat ini. Bangun tidur sebagai contoh, ia juga membawa kedamaian. Terutama karena sebagian manusia ketika berusaha bangun di pagi hari tidak bisa karena keburu mati. Di samping itu, bangun pagi memberikan kesempatan untuk merenung, mau diisi dengan apa kehidupan di hari ini. Bila diisi dengan pelayanan dan kebaikan, kedamaian buahnya. Jika diisi dengan kejahatan dan kejelekan, penderitaan hukumannya.
Dengan cara seperti ini, maka bisa dikembangkan lebih lanjut di sisi-sisi kehidupan yang lain. Tanpa terkecuali. Bagi kebanyakan orang, kerja itu membosankan. Ia lawannya rekreasi, yang menyenangkan. Lelah, capek, serba salah. Kalau benar atasan diam, bila salah atasan mengomel. Tatkala pelayanan baik pelanggan melenggang, saat pelayanan salah sedikit saja maka makian menghadang. Itulah gambaran tentang kerja yang dibikin banyak manusia dan banyak membuat manusia menjadi gila.
Bagi pencinta kedamaian, mereka mengembangkan sudut pandang yang lain. Tentunya yang indah dan baik. Kerja bukan tong sampah yang berisi keluhan, kerja menyembunyikan berlimpah peluang untuk menemukan kedamaian. Perhatikan setiap tugas yang datang. Dengan sedikit cara pandang positif terlihat, kerja adalah cermin kepercayaan atasan ke kita. Tanpa rasa percaya atasan tidak mungkin ada kerja. Dengan demikian ada kedamaian dalam setiap tugas yang datang. Menjalankan amanah dan ujungnya mengerjakan kebaikan. Kemudian kemarahan atasan atau keluhan pelanggan sebagai contoh lain, ia adalah terbukanya pintu perbaikan diri. Tanpa kemarahan atasan atau keluhan pelanggan, kita semua seperti petinju tanpa lawan, bermain sepak bola tanpa ada yang menghitung skor menang kalah. Datar dan bosan sekali kerja jadinya. Untuk itulah, ada kedamaian di balik kemarahan atasan dan keluhan pelanggan.
Beralih ke masalah gaji dan bonus yang sensitif misalnya, ia sering tidak memuaskan dan kerap menjadi bom yang menghancurkan kedamaian. Dari segi pekerja, judul yang diambil adalah bos pelit, pengusaha yang mau untung sendiri. Dari segi atasan dan pengusaha, judulnya adalah penghematan, investasi masa depan. Dan lenyaplah kedamaian dari dunia kerja. Padahal, dengan sedikit rasa syukur dan kerelaan untuk berhenti membandingkan kehidupan dengan mereka yang lebih tinggi, gaji dan bonus sekecil apa pun bisa menjadi sumber kedamaian. Dalam bahasa seorang guru, we can be prosper at any level of income. Kita bisa berbahagia dengan penghasilan berapapun. Makan, pakaian, penampilan, kendaraan semuanya bisa disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Memaksa agar selalu lebih baik dibandingkan orang lain, itulah bom penghancur kedamaian sesungguhnya.
Apa yang mau diceritakan dengan seluruh ilustrasi ini sederhana, itulah ciri-ciri orang yang tercerahkan. Orang-orang iman yang bercahaya hatinya. Orang yang sudah sampai pada predikat hayatan thayyibah. Mereka yang selalu berpikiran positif dan selalu mewujudkannya metode “berhenti” untuk mencari dan berbuat solutif dengan kebaikan. Yang pada akhirnya, selalu menemukan peluang kedamaian di setiap langkah kehidupan ini. Dan hasilnya; kedamaian akan mendekap, kesembuhan dan kesehatan pun mendekat. Terlebih lagi jika rajin melatih diri untuk memandang secara mendalam dan seksama terbukanya pintu kedamaian di setiap kejadian, serta rajin berbagi senyuman. Karena senyuman adalah tanda bahwa seseorang sudah menjadi tuan bukan korban kehidupan, sehingga berhasil melangkah indah di setiap jenjang kehidupan ini. Dan semoga selanjutnya, kita semua bisa memandang surat ini dengan terang-benderang. Terlebih bagi yang memasuki usia setengah abad.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Ashr:1-3)