Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Mungkin sudah banyak yang pernah mendengar lelucon yang satu ini. Ada juga yang suka menyebutnya anekdot. Ya, cerita Nashrudin Khoja yang selalu menarik perhatian. Sudah menarik, mengundang tawa lagi. Sudah begitu, penuh pelajaran dan makna di sana – sini. Tak salah, jika saya sangat menikmatinya. Dalam dan tajam. Menusuk kefahaman dan menggedor jalan pikiran. Tersadar dengan gelak-tawa serta mengakui pada akhirnya. Untuk itu, kali ini ijinkan saya mengutipkannya untuk Anda semua. Terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga. Bagus sebagai kaca benggala.
Suatu hari Nasruddin mengeluh pada istrinya; ”Dulu, waktu awal-awal menikah, setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini keadaannya terbalik, anjing kita yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.”
Mendengar kegusaran suaminya, istrinya tak kalah tangkas menangkis; ”Jangan mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap mendapatkan pelayanan yang sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang menggonggong.”
Gubrakkk..!!! Silahkan untuk tertawa sebelum tertawa itu dilarang. Jangan mempermasalahkan anjingnya, sehingga merusak maksud dan kehilangan intinya. Tetapi perhatikanlah esensi hubungan dua insan dalam perjalanan berumah tangga.
Walau sudah ada kata sepakat, ada akad yang mengikat, namun untuk terus bisa menyelaraskan keinginan dua insan dalam biduk rumah tangga memang tak mudah. Cerita di atas contohnya. Masa awal pernikahan penuh pengagungan dan penghargaan. Maklum masa penjajagan. Berusaha memberikan hanya yang terbaik. Menginjak usia tahun ke lima, sudah mulai melonggar tata kramanya. Merasa sudah dekat dan tahu karakternya. Kadang timbul juga kebosanan. Memasuki usia ke 10 pernikahan dan seterusnya sudah layaknya teman. Sudah mengerti baik-buruknya pasangan. Lupa unggah-ungguh. Di sinilah ujian karakter yang sebenarnya. Dan itu adalah cermin dari kebanyakan hubungan berumah tangga yang sudah menua. Ada unsur waktu, kesabaran, pengertian dan ada rasa ewuh – pakewuh serta sungkan. Ada penyesuaian di sana-sini, begitu sudah merasa dekat dan saling kenal luar-dalam. Susah untuk berubah pada akhirnya. Itulah watak sebenarnya. Dalam hal ini, bahkan Allah sudah mengingatkan sejak awal dengan firman-Nya,
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
“Maka jika kalian membenci mereka (isteri) – bersabarlah – karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa: 19).
Ternyata, begitu watak asli terkuak, ditambah dengan rasa bosan yang memuncak, kecerewetan, ketidaksabaran, dan ketidakbersahajaannya pun mencuat. Lupa aturan, lupa wejangan. Menjadi alasan untuk berbuat seenaknya. Itulah manusia. Cenderung mengenakan topeng, untuk menyembunyikan maksud dan menutupi keburukannya. Suka berpura-pura, bukan aslinya. Khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokoknya. Namun watak adalah watak. Ia tidak bisa hilang begitu saja. Beruntung bagi mereka yang melandasi setiap amalannya dengan niat yang benar. Ikhlas, tulus dan lillahi ta’ala jadi karakternya. Semua rintangan dan cobaan bisa diatasi, bahkan bisa menemukan sisi lain yang indah dan membahagiakan. Hasilnya berjumpa keindahan di mana saja. Selalau selaras kapan saja. Persis sabda Rasulullah ﷺ;
«لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رضي منها آخر»
“Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim)
Mungkin, topeng itu pula yang membuat kita sering terkecoh. Kita suka melihat yang tampak, bukan bagian yang ”dalam”. Yang tidak tampak. Kita cenderung mencuatkan ego. Akibatnya, seperti dikisahkah Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, pengajar di beberapa perguruan tinggi, ada perkawinan yang hanya berumur tujuh hari. Ceritanya, sepasang kekasih setelah melakukan pendekatan akhirnya memutuskan menikah. Si wanita 33 tahun, dan prianya 37 tahun. Cukup matang untuk berumah tangga. Apalagi keduanya sarjana. ”Ternyata, rumah tangga mereka cerai gara-gara soal lampu,” kata Amin. Si wanita, yang selama 33 tahun selalu tidur dalam keadaan terang, menghendaki kamarnya diterangi. Sebaliknya, suaminya bersikukuh harus gelap. Maklum, 37 tahun dia selalu tidur dalam gelap. Kompromi tak bisa dicapai. Mereka pun cerai. ”Padahal, memasang lampu lima watt yang remang-remang kan bisa,” ujar Amin.
Begitulah jika manusia menekankan keinginan sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Hatinya kopong. Kesetiaan, penghormatan, perhatian, kepedulian, keadilan, kejujuran, semua ditentukan melalui kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan sulit menyatakan terima kasih, apalagi berbagi kasih.
Masalah rumah tangga memang tak pernah habis dikupas, baik di media cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. ”Dari soal pelecehan seksual, kekerasan, selingkuh, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istri,” ujar seorang penasehat spiritual di Jakarta. Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus karier istri yang menanjak, kehidupan perkawinannya malah hambar. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunyai keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor. ”Apa yang harus aku lakukan?” ungkap pria ini. Penasehat spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib salat tahajud. ”Coba lebih mendekat pada Tuhan, insya Allah masalahnya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah,” ia menyarankan.
Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. ”Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran?” katanya. Istrinya tak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya. Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depannya tak disentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima ”pengakuan dosa” itu.
Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam, istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal, pertanda baru saja dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, antara lain, yang melahirkan kebohongan demi kebohongan. Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau, bahkan, lebih pahit dari itu. Hati pria ini seakan menuntut: ”Kalau saja aku tak menuruti nasihatmu, tentu masalahnya tak sepahit ini.”
Si penasehat yang dituding ”ikut menjebloskan dalam duka” meng-kick balik: ”Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekadar tempat. Tidak lebih. Tapi, di mata si penasehat, tempat kadang membawa ”takdir” tersendiri. Sesuai arahan Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ untuk menyelesaikan sesuatunya tetap di lingkungan rumah.
عَنْ أَبِيهِ، قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ ” أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ ”
Dari Muawiyah bin Haidah, ia menuturkan, saya pernah berkata, ‘Ya Rasulullah apa hak istri terhadap suaminya?’ Beliau ﷺ menjawab, “Engkau memberinya makan ketika engkau makan, engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, jangan kamu memukul wajahnya, jangan pula menjelek – jelekannya, dan jangan kamu mendiamkannya (hajr) kecuali tetap di rumah.” (HR Abu Dawud).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ ذَكَرُوا الشُّؤْمَ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم “ إِنْ كَانَ الشُّؤْمُ فِي شَىْءٍ فَفِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ ”.
Dari Ibnu Umar, dia berkata para sahabat bercerita tentang kesialan di sisi Kanjeng Nabi ﷺ , maka Beliau ﷺ bersabda; “Jika kesialan itu ada di dalam sesuatu, maka itu ada di rumah, diri wanita dan kuda tunggangan.” (HR Bukhari)
Dan, itulah yang terjadi. Tempat bukan sumber masalah yang sebenarnya. Ia bagai alibi saja. Semakin jauh perjalanan biasanya semakin renggang. Semakin lama perjalanan, semakin berat beban tanggungan. Komitmen harus dijaga terus. Kala capek mendera, istirahatlah. Tengoklah jejak-jejak langkah indah di belakang. Jangan biarkan pudar. Ketika hujan melanda, berpayunglah dengan komunikasi dan perhatian. Saling asah, asih dan asuh. Suguhkanlah menu kejujuran dan keterusterangan. Tatkala terik menyapa, berlindunglah. Mencari udara segar untuk berbicara dan berencana melanjutkan perjalanan. Jangan saling marah sehingga tambah gerah. Jadikanlah rumah sebagai tempat terindah. Rumah adalah simbol kehidupan, dimana penghuninya terlindung dari terik, hujan, angin dan bahaya serta ancaman lain yang mengganggu. Harapannya, insan-insan di dalamnya semakin padu, bukan beradu. Selalu bersama dan bahagia.
Jalan terbaik menyikapi masalah adalah jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja. Lihatlah dari perspektif yang berbeda. Sudut pandang yang lain, untuk jalan yang berbeda. Dengan helicopter view. Kita tak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit. Topeng kepalsuan dan kebohongan tadi, bisa jadi, merupakan bagian dari perilaku kita juga. Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus menyelesaikannya. Jangan menyalahkan orang lain. Pahit-getir, manis-asam, asin-hambar, itu semua risiko. Naik-turun, gampang-susah, berat-ringan, itulah peta jalan kehidupan. Ketahuilah risikonya, dan siapkan strateginya dengan kebersamaan. Karena hidup adalah pilihan, maka harus piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan-pilihan.