Jakarta (15/12) – Indonesia Memperingati Hari Nusantara setiap tanggal 13 Desember. Peringatan itu merupakan penghormatan kepada jasa Kabinet Juanda, yang pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan batas kedaulatan laut nasional sepanjang 12 mile dari garis pantai terluar. Dan, terutama laut pedalaman menjadi wilayah kedaulatan Indonesia secara utuh.
“Deklarasi Juanda yang mengubah luas laut Indonesia merupakan jasa Kabinet Juanda. Sebelumnya, Indonesia kala itu menggunakan Ordinansi Belanda tahun 1939 untuk menentukan batas laut, territorial Hindia Belanda adalah 3 mile diukur dari garis air surut dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan,” ujar Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono.
Deklarasi Juanda yang sampaikan kepada dunia pada 13 Desember 1957 tersebut, bertujuan untuk membendung kehadiran Angkatan Laut Belanda yang mondar-mandir di Laut Jawa. Mereka berusaha mempertahankan kekuasaannya, dengan menghadirkan armada perang di laut pedalaman nusantara, “Masa itu armada laut Belanda lebih banyak jika di bandikangkan dengan milik Indonesia yang masih tergolong minim. Selain itu, pelayaran kapal-kapal perang itu dikatakan legal karena berada di perairan nusantara.
Deklarasi Juanda mengubah segalanya. Deklarasi itu mengubah konsep tradisional yang berpandangan teritorial terpaku pada daratan.
“Bangsa ini berterimakasih kepada Profesor Mochtar Kusumaatmadja, yang dengan pemikirannya berhasil menerapkan prinsip ‘tanah’ air atau konsep konsep ‘nusantara’ yang memandang kedaulatan darat (kepulauan) dan laut sebagai sebuah kesatuan,” papar Singgih.
Menurut Singgih yang juga Ketua DPP LDII, konsep Wawasan Nusantara berawal dari upaya Profesor Mochtar yang pada waktu itu menyadari betapa pentingnya kesatuan negara Indonesia dalam menetapkan batas teritorial laut Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada 1957. Setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya pada 1982 konsep Wawasan Nusantara yang dianggap sepadan dengan konsep Archipelagic State menjadi bagian integral dari United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS).
Sejak saat itu, bentuk negara kepulauan mulai diakui dan dikenal dunia. Pengakuan ini juga berdampak positif bagi Indonesia di mana luas wilayah NKRI bertambah luas dua kali lipat lebih tanpa pertumpahan darah. Untuk itu, DPP LDII mendukung pandangan berbagai pihak yang menempatkan Mochtar Kusumaatmadja sebagai ‘Pejuang Hak Laut Indononesia’.
Menurut Singgih, Mochtar Kusumaatmadja memiliki rujukan yang kuat mengenai konsep Wawasan Nusantara. “Seperti diketahui bahwa Mochtar telah mengambil spesialisasi dalam hukum internasional di Universitas Indonesia. Ia juga menerima gelar LLM dari Yale Law School. Selama belajar di Yale, ia mendapatkan pengaruh kuat dari Myres McDougal yang pada waktu memberikan kuliah Hukum Internasional mengkaji kasus The Anglo-Norwegian Fisheries Case 1949,” ujarnya.
Namun yang dirumuskan oleh Mochtar ternyata jauh melampaui ekspektasi baik dari Tim Interdeparmental yang diketuai oleh Pirngadi, yang menghendaki luas laut territorial dari 3 mile menjadi 12 mile, maupun ekspektasi dari Menteri Chaerul Shaleh yang menghendaki agar Laut Jawa menjadi Laut Pedalaman Indonesia. Sehingga tidak lagi bisa digunakan oleh kapal-kapal asing (terutama Belanda) untuk kepentingan yang merugikan Indonesia.
Bahkan juga agar Laut Jawa tidak lagi digunakan seenaknya untuk laihan perang oleh Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Menurut Singgih, dengan jenius Mochtar menggambar di atas peta yang ia miliki, berupa straight baseline atau garis dasar lurus yang ditarik dari satu titik terluar ke titik terluar lain, dari wilayah darat atau pulau yang dikuasai oleh Indonesia.
Ini sering disebut sebagai metode point to point. Hasilnya luar biasa, wilayah Indonesia baik daratan maupun lautan semacam diikat oleh sabuk straight baseline sehingga tampak dengan kasat mata bagaimana wilayah perairan dan daratan (pulau) merupakan satu kesatuan.
“Ini melebihi apa yang diharapkan Chaerul Shaleh karena bukan hanya Laut Jawa tetapi juga Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura menjadi wilayah Laut Pedalaman Indonesia yang berada sepenuhnya di bawah kepemilikan Indonesia,” ujarnya.
Demikian juga desain Mochtar juga sudah memenuhi harapan Tim Interdepartemental yang menghendaki luar Laut Teritorial diperluas dari 3 mile menjadi 12 mile. Dalam hal ini Mochtar juga mengkonsep Laut Teritorial 12 mile ditarik dari straight baseline. Dan inilah yang saat ini bangsa Indonesia miliki.
“Dengan potensi kekayaan alam laut Rp3.000 triliun per tahun, PR kita sekarang adalah merawat, memanfaatkan dan mengembangkan apa yang telah dirintis oleh Profesor Mochtar. Jangan sampai warisan yang merupakan hasil pemikiran yang brilian ini hancur, karena salah urus dan niat yang melenceng dari cita-cita luhur para pendiri bangsa,” pungkas Singgih. (kim/*)