- Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Di tengah hujan yang mengguyur Jakarta sore kemarin, seharusnya suasana menjadi adem dan sejuk. Sayang, tidak demikian adanya. Deras hujan, kalah dahsyat dengan deras keluh-kesah seorang sahabat tentang dinamika perkembangan bagaimana merawat kedua mertuanya. Masih beruntung tidak hujan air mata. Situasinya menjadi hangat cenderung membara. Emosi pun hadir bercengkrama. Kondisinya semakin tidak kondusif, keluhnya, karena anak-anaknya tidak kompak dalam merawat kedua orang tuanya. Apalagi dia sebagai menantu, kurang bebas geraknya. Tetapi, karena kebetulan istrinya menjadi anak bungsu dan tinggal bersama kedua orang tuanya, jadilah seolah-olah itu menjadi kewajibannya. Saudara istri yang lain lepas tangan. Kamulah yang harus bertanggung jawab. Begitulah kurang lebihnya.
Nyambung dengan cerita ini, beberapa waktu lalu, kita sempat disuguhi berita viral “drama” surat pernyataan tiga anak yang menitipkan orang tuanya ke panti dan menyerahkan segala urusan sang ibu kepada pihak panti. Termasuk pada saat kematiannya. Sudah barang tentu, banyak hujatan mengemuka. Nadanya meninggi semua, dengan mengata-ngatai kelakuan sang anak tanpa tahu kisah yang sebenarnya. Ada juga sih komentar yang baik, tapi tertutup dengan kebrutalan kritikan yang tajam. Itu sudah menjadi semacam budaya di era medsos seperti ini. Pokoknya ketika ada kasus anak menitipkan orang tuanya di panti jompo, pasti selalu dipandang tindakan durhaka. Padahal tidak selamanya begitu, karena ada sebab-sebab yang belum diketahui oleh semuanya.
Memang, umumnya di masyarakat kita yang dianggap bisa durhaka itu hanya anak, seakan-akan tidak ada orang tua yang durhaka. Ada cerita rakyat seperti Malin Kundang, Si Lancang, Batu Menangis, atau yang lain, semua mengisahkan kedurhakaan anak. Kita hanya bisa melihat potongan batu atau semacam tiang dan mengartikan dengan kedurhakaan. Sekarang, hanya sebuah foto yang diberi narasi tendensius, orang-orang berlomba-lomba menjadi hakim. Ditambah kemudian ada seseorang yang memberi bantuan kepada sang ibu, lalu netizen ramai-ramai memujanya. Jujur, bagian yang ini sungguh menyebalkan sekali. Seakan-akan kita menutup sebuah fakta dan ajaran agung untuk tabayun. Atau setidaknya diam jika memang tidak tahu yang sebenarnya. Tapi itu menjadi tidak penting. Yang penting komentar duluan, untuk menunjukkan bahwa kita peduli, baik dan pengertian. Urusan lain belakangan. Oh, begitu cepatnya dunia membawa peradaban ini.
Tambah sebal lagi, kenapa pihak panti menyebarluaskan surat pernyataan tersebut. Etiskah menyebarkan dokumen seperti itu? Buat apa menyebarkannya? Apakah tidak ada privacy lagi di dunia siber ini? Ketika pada akhirnya terbongkar bahwa kondisi sang ibu yang memang “susah dikendalikan” dan membuat anak-anaknya menyerah, apa masih patut dihakimi? Menurut sang anak, panti menjadi tempat terbaik, yang bisa mereka berikan saat ini, daripada menelantarkannya lebih jauh. Apa yang menghakimi itu sudah merasakan merawat orangtua dengan kondisi yang sulit seperti itu? Yang namanya orang banyak, pastilah banyak juga pemikirannya. Tidak mungkin satu suara. Namun, alangkah bijaknya jika kita mampu menjadikan ini pelajaran berharga, kaca benggala dalam rangka birrul walidaini dan mengisi dunia kita dengan kata-kata sejuk. Jika tidak bisa berkata baik, seyogyanya memilih diam. Dan jika tidak bisa membantu, yang penting tidak menyakiti.
Yang pertama, tentu nasehat buat para anak yang mempunyai orang tua. Sebagai orang yang juga sedang mengalami fase merawat orangtua, saya bisa mengerti kenapa anak sampai menitipkan orang tua di panti. Mengerti bukan berarti membenarkan. Karena merawat orang tua itu tidak mudah. Bahkan ketika sudah bilang ikhlas pun masih kecolongan sering sambat dan mengeluh. Merawat orang tua merupakan keputusan yang sangat besar dalam hidup ini. Harus banyak kompromi dengan keinginan-keinginan lain yang harus dilepaskan demi berada terus di dekat orang tua. Belum ditambah dengan kondisi keluarga seseorang itu berbeda antara satu dan yang lainnya. Mungkin ada keluarga yang harmonis; hubungan orang tua dan anak yang baik, antar saudara kandung, ipar, dan menantu yang rukun, orang tua tidak rewel, finansial cukup. Tidak terlalu menyusahkan kondisi tersebut. Kita bisa birrul walidain dengan tenang. Tapi, ada juga keluarga yang tidak ada kedekatan emosional bahkan malah berkonflik antar anggota keluarga. Hubungan orang tua dan anak yang tidak baik, antar saudara kandung tidak rukun, belum masalah lainnya. Memutuskan siapa yang merawat orang tua ini juga kerap menjadi masalah. Sering keputusan apapun yang diambil menjadi serba salah. Ada yang merasa melimpahkan tanggung jawab dan dilimpahkan tanggung jawab.
Lain lagi jika anak sudah menikah. Pasangan si anak juga belum tentu menerima ketika harus ikut merawat mertuanya. Tidak selamanya karena menantu durhaka, tapi yang namanya momong orang tua ini tidak mudah. Apalagi orang tua yang rewel dan ada bawaan karakter yang kurang baik sejak dulu. Si anak mungkin juga sudah punya anak-anak lagi. Mengasuh anak kecil dengan orang tua yang sering rewel tentu saja tidak mudah karena bisa mengganggu perkembangan dan keharmonisan rumah tangga. Anak kandung saja masih kewalahan menghadapi orang tua sendiri, apalagi orang lain. Meski juga banyak kasus bahwa ada menantu yang lebih perhatian dari anak-anak sendiri dalam merawat orang tua.
Nasehatnya, bagaimana pun ada kewajiban bagi anak untuk merawat dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Baik orang tua sendiri termasuk mertua. Tentu semuanya ada koridornya; sebatas kemampuan si anak untuk merawat kedua orang tuanya. Sak pol kemampuannya. Yang terbaik yang bisa dilakukan. Tidak bisa disamakan antara orang satu dengan yang lain, karena kondisinya juga berbeda. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan kalian sembahlah Allah dan jangan kalian sekutukan Ia dengan apa pun, dan berbuat baiklah kalian kepada kedua orang tua.” (QS An-Nisa’: 36)
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “hus atau ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23)
Ayat ini seolah memberatkan, dari sisi cerita dan kenyataan. Namun jika bisa memahami dalil di bawah ini, tentu menjadi hal yang wajar. Karena tidaklah mungkin kita bisa membalas budi kepada kedua orang tua. Tidak akan pernah. Semacam suratan yang harus diterima.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ لاَ يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدَهُ إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda; “Seorang anak tidak akan mampu membalas orang tua kecuali ia menemukan orang tuanya jadi budak lalu ia membelinya kemudian memerdekakan.” (HR Muslim)
Masih banyak lagi ajaran, aturan dan tuntunan berbakti kepada kedua orang tua. Namun bila dirangkum menjadi satu, dari berbagai dalil, atsar dan nasehat, semua sepakat bahwa merawat orang tua adalah ladang pahala. Sebentuk amalan yang berbalas besar. Ia bisa menjadi sebab orang menjadi mulia dan akhirnya masuk ke surga. Atau sebaliknya, ia bisa menjadi sebab orang sengsara dan berakhir di neraka. Itu pilihan yang tersedia. Nah, ada sebuah pernyataan yang menarik terkait hal ini. Memahami situasi yang ada, seorang sahabat mengatakan bahwa ia tidak lagi tertarik masalah ladang pahala ini. Bagi dia, bisa merawat orang tua, bisa meramut ibu atau bapaknya itu sudah cukup. Bukan karena ini dan itu, cukup karena mereka adalah orang tuanya, ibu dan/atau bapaknya. Hal ini seolah menisbikan istilah ladang pahala, karena namanya ladang pastinya ada kemaraunya. Dengan sikap cukup ini menjadi segar dan tegar selamanya. Tanpa musim di dalamnya.
Yang kedua, adalah nasehat bagi para orang tua. Sudah siapkah menjadi tua? Lebih khusus lagi, sudah menyiapkan anak-anaknyakah dengan situasi tua ini? Siap tidak siap, menjadi tua itu pasti. Artinya tinggal menyiapkan diri saja. Yang banyak terlupakan adalah menyiapkan anak-anaknya untuk menghadapi kondisi ini. Mengingat contoh kasus di atas, betapa sulitnya ketika merawat orang tua, selayaknya dipersiapkan jauh-jauh hari. Butuh investasi yang banyak dan jangka waktu yang lama untuk menuai hasilnya di hari tua nanti. Mungkin dasar berpandangan seperti dalil di bawah ini perlu dipatenkan bagi setiap orang tua. Alhamdulillah jika sudah. Kalau pun belum masih ada waktu dan kesempatan.
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun pahala amala (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS Ath-Thur: 21)
عَنَ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَعِيْنُوْا اَوْلاَدَكُمْ عَلَى الْبِرِّ مَنْ شَاءَ اسْتَخْرَجَ الْعُقُوْقَ لِوَلَدِهِ * رواه الطبراني في الأوسط
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Menolonglah kalian pada anak-anak kalian atas kebaikan, bagi orang yang berkehendak agar anak-anaknya tidak melukai (berani) kepada orang tuanya”. (Rowahu ath-Thobroni)
Dengan matra seperti ini, ketika mendengar, melihat, menghadapi dan merasakan yang terjadi tidak cepat menghukumi. Karena bisa jadi orang tua yang ditelantarkan anaknya, akibat dari perbuatannya sendiri. Dulu mereka pun tidak memperhatikan dan memenuhi hak-hak anak-anaknya. Tidak mengajari adab dan tata krama yang benar, memberikan makanan dan minuman yang halal, tidak menjaga dan memperhatikan tumbuh kembangnya, dan masih banyak lagi yang lain sebagai kewajiban orang tua kepada anak. Termasuk memberi nama yang baik. Sebab ada cerita, seorang anak menuntut kepada orang tuanya berkenaan dengan namanya yang dianggap si anak jelek. Mungkin dari sinilah, lahirlah orang tua – orang tua yang ‘durhaka’ (kepada anaknya).
Harapannya kemudian, dari tulisan ini lahir pemahaman yang indah. Bisa memahami jika ada seseorang memutuskan ingin mencari panti jompo terbaik untuk masa tuanya. Tidak merepotkan anak-anaknya, dan menghabiskan masa tua dengan teman-teman sebaya. Mereka jadi tidak merasa kesepian. Dan tetap bahagia dengan pilihannya. Ada yang memang childfree walau menikah, jadi memilih menghabiskan masa tuanya di panti jompo terbaik karena sudah sadar dengan konsekuensi yang dipilih dalam hidupnya. Oleh karena itu, yang terpenting adalah memahami situasinya dan menentukan yang terbaik untuk kita. Tidak cepat menghujat dan mencerca. Tidak cepat tersentuh dan memuji, sebelum tahu yang sebenarnya. Sebab hujatan dan pujian tidak lagi bermakna, jika semua orang tahu akan hak dan kewajibannya. Sebagaimana semua orang tahu apa makna sebenarnya dari kata durhaka. Kata yang tidak ingin tersemat dalam diri kita, baik sebagai anak maupun orang tua.