Jakarta (24/3). Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjadikan Ramadan sebagai pendingin panasnya tahun politik. Kompetisi sudah saatnya diubah menjadi kolaborasi untuk memajukan negeri.
Hal tersebut ia sampaikan saat berbuka puasa bersama dengan para wartawan di Kantor DPP LDII, Jakarta, pada Sabtu (23/3), “Hasil Pemilu tentu memuaskan pemenang, namun juga mendatangkan ketidakpuasan bagi mereka yang kalah. Untuk itu, dengan ketenangan hati dalam Ramadan ini menjadi momentum yang tepat untuk introspeksi demokrasi kita,” tutur KH Chriswanto.
KH Chriswanto memberi catatan Pemilu 2024 menjadi Pemilu yang paling mahal, akibat akumulasi politik uang yang terjadi sejak awal Reformasi, “Akibatnya, suara menjadi komoditas dan masyarakat akhirnya terbiasa memberi suara dengan imbalan. Akibatnya, harga suara makin hari makin tinggi. Dan wajar bila angka-angkanya makin tinggi karena sudah terpola dua dekade,” ujarnya.
Merujuk Bank Indonesia (BI), Pemilu 2024 menunjukkan tingginya peredaran uang yang berkaitan dengan aktivitas politik. BI mencatat uang yang beredar pada Februari 2024 atau saat momentum Pemilu tembus Rp8.739,6 triliun. Angka ini tumbuh 5,3 persen dibandingkan Februari tahun lalu (yoy).
Ia mengajak semua pihak merenungi, politik uang atau yang biasa disebut KPK sebagai korupsi elektoral bisa merugikan demokrasi. Politik uang secara signifikan mempengaruhi tingginya angka korupsi di kalangan elite politik, “Praktik korupsi menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan, bahkan masyarakat mempertanyakan benarkah demokrasi membawa kemakmuran. Karena pembangunan terhambat dengan praktik korupsi,” tegasnya.
Pascapemilu 2024, KH Chriswanto menekankan konsolidasi berbagai pihak yang bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Saat kompetisi berlalu, dan pemenang sudah ditentukan, menurut KH Chriswanto semuanya harus menerima dengan lapang. Langkah selanjutnya, energi diarahkan untuk kembali membangun negara.
Perbedaan pasti ada, untuk itu ia meminta pemenang Pilpres dan Pileg melaksanakan program kerjanya. Dalam alam demokrasi perbedaan bisa menjadi energi positif, karena oposisi sekalipun bernilai positif bila memberi masukan-masukan yang membangun, “Oposisi harus didudukkan sesuai porsinya yakni mengawal proses pembangunan dan memberi saran bahkan kritik, agar pembangunan tepat sasaran. Dalam oposisi pun harus fair bila pemerintah memang berhasil dalam melaksanakan programnya,” tutur KH Chriswanto.
Demokrasi yang bernilai Pancasila, bukanlah demokrasi yang asal hujat dan kritik, serta tidak memberi ruang dalam mengapresiasi kebaikan pemerintah, “Pancasila bukan sekadar ideologi negara tapi sila-silanya merupakan way of life, dalam berbangsa dan bernegara. Bila elite politik hanya bisa menyalahkan, maka semangat gotong-royong dalam Pancasila otomatis telah hilang,” ujar KH Chriswanto yang pernah menjadi politisi Golkar Jawa Timur itu.
Kolaborasi dan rekonsiliasi ini menjadi penting, mengingat pemerintah di masa yang akan datang menghadapi masalah ekonomi akibat geopolitik yang tidak menentu. Belum lagi persoalan lingkungan seperti bencana hidrometeorologi yang makin berbahaya karena perubahan iklim.
Berbagai persoalan kebangsaan dan global itu, bisa diselesaikan bila semuanya berorkestrasi dalam check and balance. Oposisi mengawasi dan memberi masukan, terhadap kinerja pemerintah. Ketiadaan oposisi, menurut KH Chriswanto justru mengakibatkan pemerintah tidak memiliki alat ukur terkait proses pembangunan dan keberhasilannya.
“Demokrasi tanpa oposisi, justru menjebak bangsa Indonesia kembali kepada otoritarianisme yang kaku. Dan berjalan atas kemauan penguasa bukan kemauan masyarakat,” pungkasnya.