Oleh: Anton Kuswoyo, Pemerhati Sosial
Ketua DPD LDII Tanah Laut – Kalimantan Selatan
Saya terhenyak sekaligus turut prihatin saat mendengar cerita dari istri bahwa salah seorang rekannya sedang mengajukan gugat cerai kepada suaminya. Sementara itu beberapa rekannya yang lain juga sudah menyandang status janda meskipun baru beberapa tahun menikah. Cerita tentang perceraian ini tidak sekali dua kali saja, tetapi sudah berkali-kali saya dengar.
Ketika saya membuka media sosial (medsos), berita tentang perceraian juga berseliweran. Baik itu berita artis yang sedang menggugat cerai karena kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) padahal baru beberapa bulan menikah, maupun berita tentang ribuan istri di sebuah kabupaten yang menggugat cerai suaminya. Tidak tanggung-tanggung, selama tahun 2022 sebanyak 7.771 kasus perceraian terjadi di kabupaten tersebut. Itu belum termasuk kasus perceraian yang tidak tercatat di pengadilan bagi yang bercerai tanpa melalui jalur hukum.
Secara nasional, jumlah perceraian di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Afrika. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah diwakili Kasubdit Bina Keluarga Sakinah saat memberikan materi dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) Fasilitator Bimwin Calon Pengantin, (https://sumbar.kemenag.go.id/15/06/2022). Persentase perceraian di Indonesia sangat mencengangkan yakni sebesar 28% dari pernikahan. Artinya dari seluruh pernikahan, sebanyak 28% bercerai. Jika kita menengok data perceraian tahun 2020 dan 2021 maka terjadi peningkatan yang dramatis yakni sebesar 54%, yaitu dari 291.677 kasus menjadi 447.743 kasus.
Bahkan di daerah saya sendiri, saya punya teman seorang advokat yang sebagian besar kliennya adalah wanita yang sedang menggugat cerai suaminya. Hampir tiap pekan ia mendampingi kasus perceraian. Menurut teman saya itu, kebanyakan wanita mmenggugat cerai karena faktor ketidakcocokan dalam rumah tangga, faktor finansial, dan selebihnya karena perselingkuhan.
Menilik penyebab kasus perceraian yang terjadi, secara umum faktor pemicu terbesar dari perceraian adalah ketidakcocokan (perselisihan), KDRT, ekonomi, orang ketiga, dan faktor lainnya. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan penyebab terbanyak perceraian sepanjang tahun 2021 yaitu perselisihan dan pertengkaran berkelanjutan (tidak harmonis), yakni sebanyak 279.205 kasus.
Kemudian, kasus perceraian yang dilatarbelakangi dengan alasan ekonomi sebanyak 113.343 kasus. Sebanyak 42.387 kasus perceraian terjadi karena ada salah satu pihak yang meninggalkan. Lalu, KDRT juga menjadi faktor terjadinya perceraian dengan 4.779 kasus.
Dari data-data penyebab perceraian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor terbesar penyebab perceraian adalah ketidakcocokan yang kemudian berlanjut menjadi pertengkaran berkepanjangan.
Sangat disayangkan pernikahan yang diawali dengan kemesraan, kasih sayang, dan tentu saja disertai rasa cinta yang menggebu-gebu, harus berakhir tragis dengan perceraian. Padahal di awal menikah dulu serasa dunia milik berdua. Namun semuanya bisa sirna dalam waktu sekejap mata, berganti dengan rasa benci yang tiada tara.
Berbicara tentang ketidakcocokan pasangan ini sebenarnya agak membingungkan. Mengingat biasanya dua sejoli yang akan menikah umumnya sudah mempelajari sifat-sifat pasangan baik secara langsung maupun melalui orang lain. Sehingga ketika memutuskan menikah, kedua belah pihak mestinya sudah siap menghadapi karakter pasangannya. Siap menerima segala kekurangan dan kelebihannya.
Lagipula perlu disadari dengan sepenuh hati bahwa pasangan kita adalah manusia yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Dia punya karakter yang tentu saja berbeda dengan kita. Demikian pula sebaliknya. Sangat tidak wajar jika seseorang menuntut pasangannya sempurna sesuai karakter yang ia inginkan. Hingga akhirnya karena tidak sesuai ekspektasi, maka timbulah ketidakcocokan.
Jadi sebenarnya sederhana, ketidakcocokan muncul karena masing-masing pasangan memiliki ego yang tinggi dan tidak ada yang mau mengalah. Sebenarnya solusinya sederhana, mengalahlah salah satu yang penting keluarga tetap bersatu.
Rela Berkorban Demi Kebersamaan
Jurus ampuh sebagai solusi atas ketidakcocokan adalah “jangan egois”, terutama suami. Harus disadari dan difahami bahwa peran suami adalah sebagai kepala rumah tangga. Ibarat kapal, suami adalah nahkodanya. Sedangkan istri adalah penumpangnya. Sebagai nahkoda, suami tentu harus menjaga agar kapal bisa berlayar sampai tujuan, tidak salah arah apalagi tenggelam di tengah lautan kehidupan.
Ketidakcocokan diantara pasangan terjadi ketika ada perbedaan keinginan tetapi salah satu dari keduanya tidak ada yang mau mengalah. Contoh kecil saja misalnya pasangan suami istri ingin membangun sebuah rumah. Istri ingin rumah dengan dua kamar tidur agar luas, sementara suami ingin rumah dengan tiga kamar tidur agar semua anak dapat satu kamar. Jika masing-masing tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah cekcok bahkan pertengkaran.
Disinilah perlunya kebijaksanaan suami. Mengapa harus suami yang lebih bijaksana? Karena suami harus lebih mementingkan “kapal” rumah tangga yang ia nahkodai selamat sampai tujuan, daripada sekedar mementingkan egonya sendiri. Ia harus mau mengalah untuk hal-hal yang sifatnya bukan menyangkut prinsip hidup.
Meskipun di dalam agama diajarkan bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya, tetapi jangan hal tersebut dijadikan alasan untuk berlaku “mau menang sendiri” terhadap istri. Taat pada suami bukan berarti dijadikan dasar agar setiap keinginan suami harus dituruti semua. Ingat bahwa istri juga punya selera dan keinginan yang kadang berbeda dengan suami. Tentu akan membahagiakan jika suami juga menuruti keingian sang istri. Selama keinginan sang istri tidak bertentangan dengan norma apalagi agama.
Saya jadi teringat sebuah cerita tentang kebijaksanaan seorang suami. Alkisah ada seorang suami yang setiap makan bersama istrinya dengan hidangan lauk berupa ikan, maka suami selalu makan kepala ikan. Sedangkan daging ikan diberikan kepada istrinya. Ia berkata pada sang istri bahwa ia lebih suka kepala ikan daripada daging ikan. Hal itu dilakukannya selama puluhan tahun hingga istrinya meninggal dunia.
Suatu hari ketika ia makan malam bersama anak-anaknya, lelaki tadi makan dengan lauk sepotong ikan dan membuang kepalanya. Lalu anaknya pun heran dan menanyakan bukankah selama ini lebih suka kepala ikan? Lelaki tadi pun menjawab bahwa sebenarnya ia suka makan daging ikan. Hanya karena ia ingin membahagiakan istrinya, maka ia rela memberikan daging ikan untuk istrinya. Sedangkan dirinya lebih memilih makan kepala ikan tersebut.
Cerita itu mungkin fiksi, tetapi hikmah yang dapat dipetik adalah sifat bijaksana suami demi membahagiakan istrinya. Untuk hal sekecil itupun suami rela berkorban, apalagi untuk hal yang lebih besar lagi.
Pentingnya Saling Memberi Perhatian pada Pasangan
Saya pernah diprotes istri gara-gara ketika kami berdua berada di rumah, saya asyik sendiri dengan handphone saya. Sejak saat itu saya pun akhirnya sadar, bahwa sifat wanita adalah ingin diperhatikan dan didengarkan curhatannya.
Saat kami sedang berdua, istri saya seringkali bercerita tentang pekerjaannya. Meskipun hanya cerita-cerita ringan, tetapi saya selalu mendengarkan dengan seksama. Sekali-kali saya pun menimpali curhatan istri dengan tujuan untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada istri. Tidak jarang saya juga menyelipkan nasihat kebaikan kepada istri untuk sekedar memberikan motivasi kepadanya. Rupanya kesediaan mendengarkan celotehan istri dan mau menanggapinya memberikan suasana hubungan yang menyenangkan.
Istri pun jadi lebih senang berada bersama suami karena baginya ada tempat untuk mencurahkan segala unek-unek di hatinya. Selain juga mencurahkan cinta dan kasih sayang tentunya.
Rupanya hal-hal yang menurut kita sepele, justru besar sekali efeknya bagi keharmonisan rumah tangga. Hal lain yang bisa dilakukan suami adalah jangan sungkan untuk sekedar memberi apresiasi terhadap istri. Misalnya saja memuji kecantikan istri, mengucapkan terima kasih, memberikan hadiah di waktu-waktu tertentu, senantiasa saling bantu membantu, dan lain sebagainya.
Seperti halnya tanaman yang perlu dipupuk dan disiram agar tumbuh subur, memberikan perhatian pada pasangan adalah pupuk terbaik untuk terus menumbuhkan rasa cinta di dalam rumah tangga. Sementara memberikan nasihat kebaikan menjadikan penyejuk jiwa dalam keluarga.
Perlunya Ilmu Agama dalam Merawat Rumah Tangga
Di atas segalanya, ilmu agama adalah penuntun terbaik dalam hidup berumah tangga. Semua permasalahan hidup, solusi paling utama adalah dikembalikan kepada ilmu agama. Karena di dalam agama sudah diatur semua tentang hak kewajiban suami, tentang tatacara menjalin hubungan dalam keluarga, bahkan panduan ketika menghadapi masalah sesulit apapun.
Ilmu agama ibarat oase di tengah padang pasir pernikahan. Pasangan suami istri yang mempunyai pemahaman ilmu agama dengan benar, akan senantiasa mendapatkan kesejukan dalam rumah tangganya. Kalaupun terjadi permasalahan dalam rumah tangga, masing-masing akan mampu untuk meredam dan menemukan solusi terbaiknya.
Maka tidak ada yang lebih baik selain senantiasa merawat pernikahan dengan cara menerapkan ilmu agama dalam kehidupan berumah tangga. Dengan demikian semoga pernikahan kita semua, menjadi pernikahan yang sakinah mawaddah warahmah. Amiin. (*)