Jakarta (10/1) Berdasarkan laporan Kualitas Udara Dunia IQAir, Indonesia menduduki peringkat ke-17. Artinya, Indonesia masuk sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan konsentrasi PM2,5 mencapai 34,3 μg per meter kubik.
PM 2,5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 µm (mikrometer). Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) menganjurkan, paparan PM2,5 dibatasi 10 mikrogram per meter kubik.
Melihat data tersebut, tak salah jika kontribusi seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama memperbaiki kualitas udara menjadi sebuah keharusan dan prioritas.
Hal ini sejalan dengan tujuan Hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh pada 10 Januari, untuk meningkatkan, dan mendorong kesadaran masyarakat terkait pentingnya menjaga, serta melestarikan lingkungan.
Pengurus Departemen Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Air (LISDAL) DPP LDII, Atus Syahbudin mengungkapkan, Indeks Kualitas Udara (IKU) diperoleh dari pengukuran kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) di udara. “Kandungan SO2 berasal dari emisi industri dan mesin diesel berbahan bakar solar, atau bahan bakar lainnya yang mengandung sulfur. Sedangkan NO2 berasal dari emisi kendaraan bermotor, berbahan bakar bensin,” ujarnya.
Selain SO2 dan NO2, pencemaran di udara diakibatkan oleh berbagai polutan seperti karbon monoksida (CO), serta partikel ozon di permukaan.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada itu menegaskan, udara yang bersih sesungguhnya telah disediakan sejak zaman dahulu. “Ketika alam belum terusik. Pada waktu itu, manusia memanfaatkan alam secukupnya dengan kearifan lokal masing-masing,” katanya.
Namun, ia menilai, era industri mulai mengeksploitasi alam secara berlebihan. Banyak hal, selalu dihitung berdasarkan nilai ekonomi. “Pemandangan alam yang indah, air yang melimpah, dengan udara sejuknya, serta beranekaragam flora dan fauna, masih jauh dari harapan untuk menyumbangkan devisa,” jelas Atus.
Sialnya, ia mengungkapkan, keberadaan alam lalu tidak dianggap. “Sering dikalahkan dan dikorbankan. Lanskap hijau pun dihabisi demi pembangunan yang menghasilkan produk barang dan jasa yang katanya, membuka lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa dan lainnya,” ujarnya.
Untuk itu, langkah perubahan untuk menekan polusi udara, dapat dimulai dari keluarga, sebagai komunitas terkecil. “Semua keluarga memerlukan edukasi tentang lingkungan hidup sejak dini,” jelas Atus.
Selanjutnya, diikuti aksi-aksi kecil berskala rumah tangga. “Termasuk mewujudkan udara yang bersih. Dalam hal ini, sebisa mungkin meningkatkan tutupan lahan dengan menanam pepohonan, dan mengurangi sumber emisi dari rumah tangga,” urainya.
Menurutnya, manusia membutuhkan pepohonan untuk menghasilkan oksigen (O2). Atau mudahnya, udara bersih yang selalu dihirup setiap saat. “Tentu tak elok, kita mengambil oksigen dari pepohonan di pekarangan rumah tetangga kita,” pungkas Ketua DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut.
Tidak hanya itu, keuntungannya, tajuk pepohonan bisa meneduhkan, menghasilkan buah-buahan dan mengonservasi air hujan untuk ditabung, guna persiapan di musim kemarau. Lebih jauh lagi, ia menjelaskan, rimbunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) berkat pepohonan di perkotaan atau tempat berkumpulnya berbagai aktivitas, mampu menyerap partikel debu dan mengurangi kadar CO, SO2, dan NO2 di udara.
“Bukankah kita juga mengeluarkan karbondioksida (CO2) sehingga pepohon di rumah pastilah mampu menyerapnya. Lalu bersama air (O2), sinar matahari dan klorofil dimasak menjadi salah satu macam karbohidrat penyusun kayu (C6H12O6),” kata Atus.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan setiap keluarga untuk mengurangi sumber emisi dari rumah tangga, dapat berupa pengurangan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bensin dan solar. Dengan membudayakan berjalan kaki atau bersepeda.
Usaha selanjutnya, adalah dengan tidak membakar sampah rumah tangga. “Seyogyanya sampah dapat dipilah, minimal menjadi dua. Sampah organik dari sisa dapur dan dedaunan ditimbun di dalam jujugan di setiap rumah. Adapun sampah anorganik, dipisah dan dapat dijual kembali,” katanya.
Contohnya, ia menceritakan, LDII DIY telah memulai program “Kelompok Sedekah Sampah Berbasis Masjid”. “Remaja masjid menjadi penggerak bersama-sama dengan Kyai Peduli Sampah,” urainya. Cara berikutnya, dengan tidak membuang sampah dan kotoran ke dalam badan air. “Seperti sungai, selokan, embung, danau, dan lainnya,” ujar Atus.
Ia menjelaskan, sampah buangan itu dapat mengotori badan sungai, dan meningkatkan pencemaran. “Selain itu, menyebabkan pemandangan dan bau yang tidak sedap. Kebiasaan rumah tangga yang masih membuang air besar sembarangan, juga harus diubah untuk meminimalkan pencemaran air,” jelasnya.
Selanjutnya, pada level sekolah, dengan berusaha menjadi sekolah adiwiyata yang menerapkan indikator pelestarian lingkungan hidup. “Bagi majelis taklim, masjid, sekolah dan pesantren, berupaya menerapkan konsep eco-masjid,, eco-pesantren,” ujarnya.
Lebih baik lagi, ia menyarankan level rumah tangga, sekolah, majelis taklim, musholla dan masjid melaksanakan skema “Program Kampung Iklim”. “Sebagaimana yang telah diwujudkan oleh Kampung Proklim Sangurejo Sleman, DIY, dan Kampung Proklim Utama RW Agrowisata Pekanbaru, Riau,” tutupnya.
Untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan asri, DPP LDII dalam program Go Green, sejak 2008 telah menanam 4 juta pohon di seluruh Indonesia. Bahkan, LDII telah membangun arboretum, untuk penelitian tanaman endemik di Perkebunan Teh Jamus, Ngawi, Jawa Timur.