Jakarta (20/12). International Institute of Islamic Thought (IIIT) bersama dengan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, dan Universitas Al-Azhar Indonesia mengadakan webinar mengenai “Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara” pada Sabtu (11/12) lalu.
Dalam kesempatan tersebut, hadir Prof. Dr. Nurhayati Djamas, MA, M.Si sebagai salah satu narasumber, yang membahas tentang kontribusi cendikiawan muslim di Asia Tenggara dalam perjuangan melawan kolonialisme.
Prof Nurhayati menyampaikan, biografi dan kisah perjuangan salah satu ulama, cendikiawan, sekaligus sastrawan kelahiran Sumatera Barat yang akrab dipanggil Buya Hamka.
Sebagai informasi, Buya Hamka atau yang memiliki nama asli Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo lahir pada tahun 1908 dan wafat pada 1981. Ia merupakan putra dari pasangan Haji Rasul dan Siti Shafiyah. Ayahnya adalah seorang ulama Pendiri Sumatera Thawalib dan merupakan cucu dari Tuanku Pariaman, seorang tokoh yang terlibat dalam Perang Padri melawan penjajah.
“Tuanku Pariaman menikahkan putrinya yang bernama Siti Saerah kepada salah satu muridnya, Abdullah Saleh, dan lahirlah Haji Amrullah atau kakek Buya Hamka, ayah dari Haji Rasul. Haji Amrullah merupakah tokoh Kaum Tua dan seorang ulama pemimpin Tarekat Naqsabandiyah di Maninjau,” ujar Prof Nurhayati.
Ditilik dari latar belakang keturunan, kata Prof. Nurhayati, Buya Hamka mewarisi darah pejuang dan jiwa pembaharuan, mengingat dari kakek buyut sampai ayahnya merupakan tokoh-tokoh penting dalam pergerakan dan perjuangan di Sumatera Barat.
“Hal ini membentuk mental Hamka menjadi pribadi yang haus akan perjuangan, memiliki pendirian yang teguh, dan disertai dengan hati nurani yang lembut. Buya Hamka juga berkontribusi besar dalam pembebasan umat dan bangsanya dari ketertinggalan dan penindasan Belanda,” katanya.
Dalam webinar yang dihadiri ratusan peserta dari berbagai negara di Asia Tenggara tersebut, Prof. Nurhayati menjelaskan pula tentang pendidikan Buya Hamka yang belajar membaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya, Haji Rasul.
“Hamka mengenyam pendidikan di Sekolah Desa di pagi hari, melanjutkan ke Sekolah Diniyah di sore hari. Lalu meneruskan pendidikannya di Sumatera Thawalib yang saat itu dipimpin oleh Zainuddin Labay di Padang Panjang. Dikarenakan menempuh pendidikan di Sekolah Desa, Hamka merasakan betul perbedaan superioritas oleh mereka yang bersekolah di sekolah khusus anak pegawai Belanda, sehingga menimbulkan ketidaksukaan Hamka terhadap kolonial Belanda,” ceritanya.
Prof. Nurhayati melanjutkan, Hamka tidak tergolong anak yang rajin belajar di masa kanak-kanak. Kerap kali, Hamka mencuri waktu bersenang-senang dan menonton bioskop dengan teman sebaya dan absen dari Sekolah Diniyah.
Capaian belajar yang kurang, sikap yang dianggap sulit diatur, membuat ayahandanya kecewa terhadap Hamka. Sikap keras ayahnya dan perceraian orangtua Hamka saat berusia 12 tahun, menambah luka batin di masa peralihan anak-anak menuju pra-remajanya,” ujarnya.
Meski demikian, hal tersebut tidak menyurutkan Hamka dalam berperilaku takzim pada kedua orangtuanya, dan tetap menurut saat ayahnya menyuruh Hamka menimba ilmu pada Syekh Ibrahim Musa di Parabek, Bukittinggi. Selanjutnya, diiringi dengan minat dan hobi membaca yang tinggi, Hamka melanjutkan pendidikannya secara otodidak.
Kesempatan Hamka merantau ke Pulau Jawa saat berusia 15 tahun dan berguru dengan banyak tokoh-tokoh hebat di sana, membuka pola pikirnya terhadap cara mempelajari agama.
“Semangat pergerakan sebab interaksi dengan para tokoh tersebut berkobar hebat didalam diri Hamka muda. Ia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat pada 1925 dengan semangat orasi yang tinggi, mengobarkan semangat pergerakan dan keilmuan pada warga di sana. Namun, alih-alih menjadi kebanggaan, aksi tersebut kurang mendapat apresiasi dari ayahnya yang menganggap orasinya hanyalah omong kosong belaka tanpa adanya ilmu yang mumpuni,” katanya.
Hal ini menjauhkan hubungan Hamka dengan ayahnya, dan memutuskan untuk pergi ke tanah suci pada 1927 untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama.
“Sesampainya di tanah suci, barulah Hamka menyurati ayahnya. Dalam surat itu tertulis, Hamka sedang beribadah haji, dan bekerja di percetakan dan penerbitan Hamid Kurdi, mertua dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Hamka memenuhi asupan keilmuan dan hobi membacanya dengan mempelajari buku-buku keislaman berbahasa Arab di percetakan tersebut,” ujarnya.
Setelah menunaikan ibadah haji di tanah suci, lanjut Prof. Nurhayati, Hamka bertemu tokoh Syarikat Islam Haji Agus Salim. Tokoh Syarikat Islam tersebut mendorong Hamka untuk pulang kembali ke tanah air untuk melanjutkan perkembangan dirinya dalam perjuangan pergerakan.
“Sesampainya di tanah air, ia memilih tinggal di Medan dan menjadi guru di sana. Mengetahui anaknya sudah kembali dan menjadi haji, ayah Hamka memintanya kembali ke tanah kelahiran namun ditolak oleh Hamka atas dasar menegakkan harga diri,” paparnya.
Tak hilang akal, Haji Rasul mengutus ipar Hamka, Haji A. R. Sutan Mansur yang lemah lembut untuk melunakkan hati Hamka sehingga Hamka menurut untuk kembali ke Padang Panjang.
Hamka mendapat sambutan hangat oleh ayahnya saat kembali ke Padang Panjang. Lantas, jurang pemisah antara keduanya runtuh setelah perubahan sikap ayahnya yang menghargai Hamka.
“Hal inilah yang melatarbelakangi Hamka menulis buku legendaris berjudul “Ayahku” sebagai bentuk khidmatnya terhadap Haji Rasul. Hamka kemudian dinikahkan oleh gadis pilihan ayahnya, Siti Raham, pada tahun 1929,” ujarnya.
Kobaran api semangat pergerakan mewarnai hari-hari Hamka. Ia terlibat dalam persyarikatan Muhammadiyah, dan diangkat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang pada 1928.
“Bersama pengurus Muhammadiyah yang lain, Hamka mendirikan sekolah Kulliyatul Mubalighin. Hamka juga terlibat beberapa kali dalam Muktamar Muhammadiyah, dipercaya sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pada 1932 selama 3 tahun. Setelah itu, Hamka menjadi Konsul di Sumatera Timur pada masa kedudukan Jepang. Keterlibatannya dalam persyarikatan Muhammadiyah itu mewarnai perjuangannya melawan Jepang dan agresi Belanda,” tandasnya.
Pergerakan Kaum Muda di persyarikatan Muhammadiyah untuk meluruskan hal-hal yang dianggap sudah tidak perlu lagi dipertahankan sebagaimana yang Kaum Tua lakukan, sangat mempengaruhi semangat para pemuda yang tergabung dalam Muhammadiyah.
“Kaum Muda memodernisasi pendidikan di Sumatera Barat yang merupakan capaian perubahan luar biasa bagi masyarakat di sana. Adat Minangkabau yang menganut sistem keturuan matriarchaat. Hal itu berpatokan dengan garis keturunan dari ibu, dan pada prakteknya dinilai tidak sejalan dengan Islam. Mengetahui hal tersebut, Hamka menuliskan kritiknya pada sistem adat tersebut dalam karya-karya sastranya, seperti pada buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan buku sastra lainnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Profesor sekaligus Dosen Senior Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Al-Azhar Indonesia itu memaparkan perjuangan Hamka di masa penjajahan Jepang. Saat itu pada 1942, Hamka masih mejabat sebagai Konsul Muhammadiyah di Sumatera Timur.
Hamka juga memimpin majalah bulanan Pedoman Masjarakat yang penerbitnya berada di Medan (1936-1942) dan majalah tersebut berhenti produksi di 1942 karena dibredel Jepang. Saat itu, kolonial Jepang berusaha merangkul organisasi-organisasi tua seperti Muhammadiyah, Al-Washiliyah, dan Al-Ittidahiyah, secara persaudaraan untuk mendukung Jepang melawan sekutu. Sebagai imbalan, Jepang menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia dan kedudukan pada para anggota organisasi yang mendukung Jepang.
Para tokoh organisasi tua terbujuk oleh janji manis Jepang, termasuk Muhammadiyah. Namun nahas, Jepang kalah oleh sekutu tahun 1945 dan Hamka bingung dengan kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang, lalu pergi meninggalkan Medan menuju Sumatera Barat. Lambat laun, saat Indonesia memperoleh kemerdekaannya, Hamka kembali teguh berjuang melalui dakwah dan pendidikan.
“Hal ini ditandai dengan perpindahannya ke Jakarta pada tahun 1950 karena alasan diminta menjadi dosen Perguruan Tinggi Islam dan juga Penasihat di Kementrian Agama. Hamka juga terlibat dalam aktivitas partai Masyumi namun dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960 karena adanya indikasi keterkaitan dengan pemberontak PRRI,” ujarnya.
Setelah membangun rumah di Kebayoran Baru Jakarta, Hamka diberikan tanah lapang oleh pemerintah di depan rumahnya untuk membangun masjid. Hamka juga semakin semangat dengan diundang ke beberapa universitas luar negeri untuk berpidato, seperti ke Lahore dan Mesir.
“Pidatonya di Universitas Al-Azhar Kairo yang berjudul “Pengaruh Faham Muhammad ‘Abduh di Indonesia dan Malaya” mendapatkan sambutan luar biasa, sehingga ia diberikan gelar Dr HC dari Universitas Al Azhar Kairo,” kata Prof Nurhayati
Setelah masjid di depan rumahnya berdiri, Hamka meminta Walikota Jakarta Raya, Syamsurijal, untuk menggunakan masjid itu sebagai tempat ibadah. Perlahan, masjid yang disebut Masjid Agung Kebayoran Baru itu ramai didatangi jamaah yang beribadah di sana.
“Hamka mulai menyampaikan dakwah penjelasan tentang ayat suci Al-Quran di masjid tersebut. Pada tahun 1960, Rektor Universitas Al Azhar Kairo berkunjung ke Masjid Agung Kebayoran Baru, dan menyematkan nama baru Masjid Agung Al Azhar untuk masjid tersebut. Hingga saat ini, Masjid Agung Al Azhar masih menjadi pusat dakwah pendidikan,” paparnya.
Prof. Nurhayati dalam webinar tersebut menutup kisah Hamka dengan menjabarkan jejak-jejak peninggalan Hamka.
“Hamka dikenal sebagai ulama dan cendikiawan yang berpendirian teguh, memutuskan mundur dari posisi Ketua MUI karena Fatwa-nya yang mengharamkan Perayaan Natal Umat Kristen dianggap berlebihan oleh Menteri Agama saat itu, Jendral Alansyah Ratu Prawiranegara. Selain itu, karena kesederhanaan dan kelembutan hatinya, ia juga tetap mau memenuhi permintaan terakhir seseorang yang pernah memenjarakan dan memusuhinya, yaitu Soekarno yang minta disalatkan Hamka saat kematiannya,” tuturnya.
Presentasi tersebut mendapat apresiasi dari Ustaz M. Habib Chirzin, Perwakilan IIIT Indonesia, yang menyampaikan sambutannya pada pembukaan webinar. Ustaz Habib mengapresiasi Prof. Nurhayati karena telah menyampaikan presentasi yang dinilai sangat menarik dan penuh makna.
Dalam penutupannya, Ustaz Habib juga mengusulkan untuk membuatkan buku kecil tentang Buya Hamka, biografi padat namun sarat makna guna memotivasi kaum muda saat ini. Hal ini untuk mengikuti jejak perjuangan Hamka melalui dakwah dan pendidikan. (Agsa/Wicak)