Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Menyambut bulan puasa, yang sebentar lagi tiba, mari siapkan bekalnya. Apakah perlu bekal? Seperti apa bekalnya? Mari kita berselancar untuk mencarinya. Persiapan adalah separo kemenangan. Sebaik-baik bekal adalah taqwa (cukup). Untuk segala suasana. Oleh karena itu, mari sambut kedatangan bulan puasa kali ini dengan bekal yang baik agar sempurna puasanya. Dan dijamin akan merasakan hal yang berbeda, melebihi sebelum-sebelumnya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah:183)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah.” (QS Al-Baqarah:185)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, Allah swt. berfirman, “Puasa adalah untukku dan Akulah yang membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya, makanan, dan minumannya karena-Ku. Puasa adalah perisai dan bagi orang yang berpuasa itu dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia menemui Tuhannya. Sungguh berubahnya mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah dari pada minyak misik.” (HR Al-Bukhari)
Puasa adalah cinta. Ini bukan pernyataan yang mengada-ada. Memang begitulah, walau banyak yang belum menyadarinya. Padahal sudah tersurat dan tersirat. Dan di bulan puasa ini adalah bulan latihan bercinta. Bercinta dengan siapa? Bercinta dengan sesama manusia, bercinta dengan lingkungan sekitar dan bercinta dengan Sang Maha Pencipta Alam Semesta. Lihatlah, ketika orang hendak berbuat jelek kepada orang yang berpuasa, maka dianjurkan untuk tidak membalas dengan yang serupa. Puasa itu cinta damai. Cukuplah katakan, ‘Innii Shoo’imun, Innii Shoo’imun, Innii Shoo’imun.’ Maaf, saya sedang berpuasa. Sebab puasa adalah media untuk menggapai cinta. Setiap datang kekerasan, balaslah dengan kelembutan – cinta. Setiap datang kejelekan, sambutlah dengan kebaikan – cinta.
Tengoklah, ketika menjumpai bau mulut orang yang berpuasa. Arahannya adalah kelembutan dan kasih-sayang. Bau mulut orang berpuasa itu lebih wangi dari minyak miski atau kasturi di mata Allah. Yaitu minyak yang berasal dari kijang jantan yang sedang jatuh cinta. Itu diajarkan, agar dengan berpuasa bisa menghormati lingkungan dengan sempurna. Jangan lihat faktanya sekarang, tapi lihatlah buahnya nanti. Artinya belajar sabar, hormatilah lingkunganmu, dengan proses cinta. Apa yang pelu diubah lakukanlah, agar lingkungan menjadi bersih rapi, indah, dan asri. Banyak hal yang tidak menyenangkan di mata makhluk, tetapi mulia di hadapan Sang Pencipta. Tindakan-tindakan kecil cinta kepada lingkungan, berbuah besar kemudian.
Puasa tidak seperti amalan yang lain. Puasa itu istimewa. Ia satu-satunya amalan yang langsung kepada Allah. Dan juga langsung Allah sendiri yang membalas. Pernyataan singkat ini sangat dalam maknanya, bagi jiwa-jiwa yang jernih. Sebab ini menunjukkan kaidah cinta yang sebenarnya. Inilah cinta. Yaitu perbuatan dan bukti cinta. Orang yang saling mencinta akan melakukan apapun, tanpa perhitungan dan tanpa balasan. Bahkan tanpa diminta. Saling mengerti dan memahami. Dalam segala segi. Itulah kenapa puasa begitu mulia. Allah cinta kepada orang yang berpuasa.
Dari sinilah, timbul sebuah aliran bernama cinta menuju telaga taqwa. Tanpa cinta susah mendapatkan ketaqwaan. Sebab taqwa adalah bahasa lain cinta yang mendalam kepada Yang Maha Esa. Taqwa adalah sebentuk cinta tingkat tinggi, ketika ketakutan dan ketaatan melebur menjadi satu. Yang ada hanya hasrat penuh cinta untuk senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Yang ada hanya semangat gemuruh, meluruh, merindu pada jiwa – jiwa yang suci untuk selalu mendekatkan hati pada jalan – jalan Ilahi. Meminjam pribadi Nabi SAW, dermawan seperti angin yang dilepas. Dan dalam keteladanan : Afalan akuunu abdan syakuron. (Bukankah aku termasuk hamba yang bersyukur). Ketika kita belum memahami ini, maka akan dengan mudah kita bicara taqwa, tapi baru sekedar pernyataan belaka. Kalaulah cinta, ia adalah cinta yang egoistis. Bahkan mungkin bertepuk sebelah tangan.
Dari kamar sebelah, ada cerita menarik tentang perjalanan cinta Ibu Teresa dari Calcutta. Dia adalah peraih Nobel Perdamaian. Dia membangun ratusan rumah di dunia untuk melayani mereka yang tersisih dan terbuang dari masyarakat. Dia membimbing secara spiritual dan hidup bersama dengan orang-orang miskin, orang-orang jompo, dan anak-anak telantar. “Setiap karya cinta (amal-amal sholih) yang dilakukan sepenuh hati (karena Allah) selalu membawa orang lebih dekat pada Allah,” katanya. Kepada siapa pun Ibu Teresa berbicara, yang di hadapannya seolah menjadi orang penting. Ia bisa ngomong secara enak dengan siapa saja. Ia seperti berada dalam riak gelombang kehidupan semua orang. Ada enam langkah penting yang ditulis Ibu Teresa lewat syairnya:
Buah keheningan adalah doa
Buah doa adalah iman
Buah iman adalah cinta
Buah cinta adalah pelayanan
Buah pelayanan adalah damai.
Maksudnya, bila mau berdoa dan dikabulkan, ciptakanlah terlebih dulu keheningan. Hening jiwa dan raga. Khusyu’ hati dan pikiran. Shabar diri dan lisan. Keheningan adalah berpuasa, salah satunya. Sebab, di dalam keheningan itulah Allah menyapa dan berbicara pada manusia. Doa orang yang puasa itu mustajab. Doa membawa manusia dekat kepada Allah. Doa juga membawa hati menjadi bersih dan suci. Seterusnya hati menjadi tempat yang subur dan indah bagi berseminya benih iman. Akar – akar iman menancap dengan kuat dan erat bersama keyakinan. Dan membuahkan keimanan yang rindang dan dahsyat, melahirkan apa yang namanya cinta. Mengalir dari sendi – sendi iman yang murni dan sejati. Allah berfirman:
قُلْ مَا يَعْبَؤُا بِكُمْ رَبِّيْ لَوْلَا دُعَاۤؤُكُمْۚ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُوْنُ لِزَامً
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tuhanku tidak akan mengindahkanmu kalau tidak karena doa/ibadahmu. Padahal, sungguh kamu telah mendustakan-Nya? Oleh karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).” (QS Al-Furqon:77) Doa di sini tak lain adalah iman, sebagaimana diterangkan di beberapa tafsir.
Dari iman tumbuhlah cinta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا
“Demi Dzat yang diriku ditanganNya, tidaklah masuk surga kalian selagi tidak beriman dan tidak dikatakan beriman selagi kalian tidak saling mencinta.” (HR Abu Daud).
Cinta adalah kata kerja. Ia adalah perbuatan – perbuatan nyata berupa memberi. Ia adalah amal – amal sholih yang banyak macamnya. Ia adalah pelayanan bukan sebuah tuntutan. Memberi layanan perhatian, memberi pengharapan, memberi nasehat, memberi maaf dan lain sebagainya. Dengan banyak memberi inilah, akhirnya datang kedamaian yang didambakan setiap insan. Sebab pada dasarnya apa yang kita berikan kepada orang lain itu tidak hilang, tetapi akan kembali ke diri kita dalam bentuk serupa atau bentuk yang lain tapi dengan jumlah yang berlimpah dan berkecukupan.
Mengakhiri tulisan ini, mari lengkapi setiap amal dan ibadah kita dengan bekal cinta. Iringi setiap jengkal kaki dengan selimut cinta. Kita mungkin tidak bisa melakukan hal-hal besar, tetapi kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Setidak – tidaknya memahami dan berusaha menggapainya, walaupun belum paripurna dan masih banyak kekurangan di sana – sini. Memang kita, manusia yang tidak sempurna. Yang harusnya tak kenal lelah untuk terus berusaha, menyempurnakannya. Tidak ada salahnya untuk mencoba. Dan mari sambut kedatangan bulan ramadhan kali ini dengan bekal cinta sepenuhnya. Setidaknya untuk menggapai dua cinta berupa kesenangan saat berbuka dan kesenangan saat berjumpa dengan Tuhannya, jika belum memampukan yang lain. Itu sudah lebih dari cukup sebagai permulaan. Yang lain akan menyusul kemudian. Percayalah.