Banjarmasin (12/12) – Tokoh-tokoh harus turun ke akar rumput merangkul silent majority yang diam untuk menjadi bagian dari gerakan moderasi beragama sehingga tidak terombang ambing dengan wacana politik identitas.
Banyak permasalahan bangsa yang perlu kebersamaan menghadapinya. FKUB jangan hanya bicara agama, tetapi agenda bersama umat beragama, misalnya agenda bersama terhadap isu-isu kemiskinan, lingkungan hidup dan lain-lain.
Hal tersebut diungkapkan Koordinator Staf Khusus Presiden, AAGN Ari Dwipayana dalam Dialog Kebangsaan dan Keberagamaan dengan tema Pengarusutamaan Moderasi Beragama untuk Keutuhan Bangsa di Rattan Inn Banjarmasin, Sabtu (11/12).
Ari Dwipayana menyoroti upaya-upaya yang mesti dilakukan dalam memperbesar dan memperkuat arus tengah, salah satunya adalah menyediakan katup-katup pengaman di akar rumput. Hal ini diperlukan karena akar rumput mudah terbakar oleh provokasi, terutama menjelang kontestasi politik.
“Berbagai kontestasi elektoral di semua tingkatan perlu di kawal agar mengedepankan politik gagasan, tidak menjadi ajang politik identitas dan memunculkan disintegrasi sosial” tandasnya.
Literasi merupakan modal penting membangun moderasi beragama. Dunia pendidikan memerlukan reformasi menyesuaikan perubahan filosofi pendidikan yang sebelumnya adalah pendidikan yang mencetak manusia menjadi pribadi yang diinginkan menjadi pendidikan yang mengembangkan potensi dan talenta yang dimiliki.
“Pendidikan bukan hanya transfer of knowledges tetapi transfer of values. Nilai-nilai yang dibangun adalah critical thinking, innovation, collaboration dan humanity. Peran guru/dosen pun bergeser menjadi penggerak” beber Ari.
Sementara itu Rektor Universitas Islam Negeri Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA. menguraikan mengapa digunakan istilah moderasi beragama.
Menurutnya hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan sosial politik dari orde baru ke era reformasi. Di zaman orde baru istilah yang digunakan adalah kerukunan antar umat beragama dan orientasinya adalah agama untuk mendukung pembangunan dalam arti modernisasi. Kerukunan saat itu diartikan sebagai agreement to disagree.
“Istilah moderasi beragama menjadi rumusan yang pas dalam konteks Indonesia yang penuh kebebasan pasca reformasi. Terdapat tiga macam perbedaan yakni perbedaan polar (ekstrim dan berhadap-hadapan), perbedaan variatif dan perbedaan hirarkis. Moderasi dalam konteks perbedaan variatif adalah mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan” urainya.
Prof. Mujiburrahman memakai ungkapan Gus Dur, yang sama jangan dibeda-bedakan dan yang berbeda jangan disama-samakan. Moderasi dalam konteks perbedaan hirarkis adalah bagaimana yang kuat melindungi yang lemah, yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, di sisi lain yang rendah berusaha naik kelas.
“Tantangan moderasi beragama, secara konteks sekarang kita dihadapkan pada disrupsi, yaitu perubahan yang sangat cepat dan sulit diprediksi. Terdapat tiga perubahan yang memberikan perubahan yang dahsyat, yaitu perubahan iklim, digitalisasi dan pandemi Covid-19” paparnya.
Lebih jauh Ia menjelaskan dampak perubahan iklim yang berakibat pada banjir rob di mana-mana. Solusi apa yang kita lakukan? Dalam konteks digitalisasi, manusia berubah menjadi homo digitalis. Terjadi tsunami informasi, fenomena post truth di mana sesuatu dianggap benar jika sesuai seleranya, sharing tanpa saring, ujaran kebencian, kegalauan karena terlalu banyak pilihan. Indonesia menjadi negeri dengan indeks kesopanan digital (digital civility index) terburuk di Asia Pasifik. Dampak sosial ekonomi pandemi Covid-19 juga begitu dahsyat. Terjadi peningkatan konflik rumah tangga, pengangguran, perceraian. Belum bisa diprediksi kapan pandemi ini berakhir. Di sisi lain ada prediksi bahwa kita tidak akan kembali ke normal lama. Kita harus bisa membangun normal baru dari reruntuhan yang lama.

“Kita harus dapat melihat sisi positif dari masyarakat yang majemuk. Plurarisme didefinisilan sebagai menghadapi perbedaan secara positif, mengelolanya secara damai dan berkeadilan. Di tengah perbedaan ada titik temu. Rasa saling percaya (trust) adalah modal sosial penting mengelola perbedaan dalam masyarakat majemuk sehingga demokrasi kita akan sehat dan kita hidup dalam rasa aman” paparnya lagi.
Menurutnya memahami tentang ushul dan furu’ juga penting agar terhindar dari tiga macam kesombongan, yaitu kesombongan intelektual (semua mutlak), kesombongan sosial (eksklusifisme) dan kesombongan emosional (fanatisme).
Ketua DPW LDII Kalimantan Selatan, H. Dedi Supriatna dalam sesi diskusi menyarankan agar para tokoh dan pemimpin organisasi keagamaan secara konsisten menjadikan empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi dan penerimaan terhadap tradisi sebagai acuan dalam dakwah atau pengelolaan organisasinya hingga nilai-nilai tersebut terbangun di akar rumput.
Dalam sesi penutup, Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Drs. H. Ilham Masykuri Hamdi, M.Ag menggarisbawahi pentingnya memadukan intelektualisme di tingkat elit dan aktivisme di akar rumput.
“Kita berpikir untuk permasalahan-permasalahan global dan melakukan solusi sesuai konteks setempat (think globally act locally) dengan memahami akar budaya masing-masing” tutupnya.
Dialog yang digelar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Selatan bersama Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan itu dipandu moderator Noorhalis Majid dan dihadiri Plt. Asisten III Bidang Pemerintahan dan Kesra Prov. Kalsel, Pengurus MUI, PGIW, Keuskupan, Walubi dan PHDI Provinsi Kalimantan, Para ketua organisasi ormas dan keagamaan yang berjumlah 180 orang peserta dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. (Dsp)